Hujan atau Kemarau? Both!!



Musim. Suatu fenomena alam yang pasti terjadi di seluruh belahan dunia. Sebagian besar, negara-negara di dunia di memiliki 4 musim. Ada musim panas, musim gugur, musim dingin dan musim semi. Lain halnya dengan Indonesia. Karena beriklim tropis, Indonesia hanya memiliki 2 musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau.

Saat ini, pergerakan musim sulit diprediksi. Yang awalnya terjadi secara berkala antara bulan April-Oktober atau sebaliknya, sekarang menjadi tak tentu.  Banyak orang sering mengeluhkan musim yang terjadi. Mulai dari ungkapan “Duh, tiap hari hujan teruss.. Bikin males aja...”  atau bahkan ungkapan seperti “Gilaaaa,, panas banget.. Sampai kapan sih musim panas bakalan nyiksa gue??.”  Ya, mungkin yang satu ini terlalu berlebihan. Tapi memang kenyataannya setiap orang pasti pernah mengeluhkan musim yang terjadi. Hal ini manusiawi. Namun, saya rasa apa yang kita keluhkan ini tak berarti apa-apa. Keluhan kita juga tak kan mengubah musim kemarau jadi musim hujan atau sebaliknya, bukan? Jika terjadi musim hujan atau kemarau pun, toh kita tetap harus menjalankan rutinitas setiap harinya. Dan  apabila musim dijadikan alasan sebagai suatu hambatan akan aktivitas kita, mungkin persoalannya  ada pada diri kita, bukan pada musim yang terjadi. Karena memang musim terjadi dan sudah diatur sebaik mungkin sesuai kehendak-Nya. 

Musim hujan dan kemarau memang mengalami berbagai pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia (lebay mode on).  Namun, tanpa kita sadari (atau  mungkin sudah kita sadari), setiap musim memiliki manfaat tersendiri. Bahkan bisa jadi musim yang sedang kita keluhkan itu dianggap sebagai rezeki oleh orang lain. Disaat kita mengeluhkan datangnya hujan, para petani mengucap syukur karena ladangnya bisa subur. Dikala kita menggerutu karena kepanasan,  para pengrajin ikan asin tak lagi  pontang-panting karena ikan yang dijemurnya kering. Jadi, ada baiknya kita kembali kepada hal yang mendasar, yaitu rasa syukur. Apapun musim yang terjadi, bersyukurlah, jalani rutinitas dengan senang hati. Tak perlu lagi kita keluhkan musim yang terjadi, mungkin Sang Pencipta sedang ingin membagi rezeki kepada yang murah hati. J J J


“Every season has it's benefits. Don't waste your time to complain about it, waste your time to enjoy it!”




Referensi  : Gambar diambil dari winnyradc.wordpress.com

Sepenggal Kisah Tentang Wanita Itu


3 tahun sudah saya dan keluarga kehilangan sosok wanita luar biasa. Ya, beliau adalah Almarhumah tante saya.  Saat melihat album foto keluarga, seketika ingatan saya kembali pada masa-masa bersama beliau. Beliau bisa dibilang sangat dekat dengan saya. Sejak kecil, saya tak luput dari perhatiannya. Memang, beliau sangat menyenangi anak kecil. Setiap pergi kemana-mana pasti selalu mengajak saya, mulai dari lari pagi, sampai menghadiri undangan pernikahan dan lucunya saya selalu ingin ikut. Setiap sore setelah mandi, pasti beliau mengajak ke halaman rumah, menyuruh saya berpose dengan polosnya lalu beliau mengambil gambar dengan kameranya. Setiap membeli pakaian pasti harus selalu beliau yang pilihkan, sampai-sampai ibu saya hanya pasrah dan membiarkan kehendaknya memilihkan pakaian untuk saya hahaha… Beliau juga sosok wanita pekerja keras dan peduli. Rasanya tak pernah ada kata capek baginya. Setiap pulang bekerja, beliau selalu membantu nenek saya. Dan yang lebih luar biasanya lagi, disamping bekerja, beliau juga bersedia berbisnis pakaian, bahkan sampai menjual makanan yang dibuat nenek saya kepada teman-teman kerjanya. Beliau sempat jatuh sakit, namun setelah pulih beliau resign dari kantor karena suatu alasan lalu dipercaya untuk mengajar di PAUD yang baru saja didirikan, juga mengajar di MDTA (Sekolah Agama) dekat rumah.

Mungkin karena terlalu capek dengan berbagai aktivitas, beliau kembali jatuh sakit. Beliau sempat dirawat di rumah sakit selama beberapa minggu, namun belum pulih juga. Akhirnya, keluarga memutuskan untuk merawatnya di rumah. Kondisinya sangat mengkhawatirkan, badannya terbujur lemas. Beliau sering mengeluhkan rasa sakitnya, tapi beliau mencoba bersabar. Kami sempat menitikkan air mata ketika melihat kondisinya. Walaupun dalam kondisi seperti itu, Alhamdulillah, beliau tak pernah luput dari mengucap dzikir. Hingga pada suatu ketika, beliau berujar ingin duduk di pangkuan nenek saya. Dan pangkuan tersebut ternyata pangkuan terakhir nenek saya.. Sungguh, suatu hal yang tidak bisa disangka-sangka. Rasa duka yang mendalam begitu terasa. Jujur, sempat terbesit rasa tak rela kala itu. Terutama Nenek saya yang sempat terpukul saat mengetahuinya. Tetapi, kami menyadari, mungkin semua sudah menjadi suratan takdir yang digariskan-Nya. Keluarga besar, para guru, serta teman-teman harus ikhlas melepas kepergian Almarhumah yang saat itu wafat di usia yang masih terbilang muda, 30 tahun.


“Kita terkadang menganggap sesuatu sebagai milik kita. Padahal, sesuatu yang kita miliki hakikatnya hanyalah titipan. Suatu saat kita harus merelakan sesuatu itu diambil kembali oleh-Nya.”

Laporan Buku : Pesantren Ilalang

Laporan Buku

Identitas Buku
Judul /Jenis Buku      : Pesantren Ilalang /Fiksi
Pengarang                  : Amar De Gapi
Penerbit/Thn             : DIVA Press/2009
Jumlah Halaman         : 310 halaman
Ukuran Buku              : 20 cm x 14cm

Sinopsis
Dikisahkan seorang pemuda bernama Kemal, dia menjalani kehidupan sebagai seorang guru. Profesi yang jauh dari harapan, dan tak pernah singgah dalam impiannya. Latar belakang pendidikannya yang Fakultas MIPA Matematika bertolak belakang dengan apa yang sekarang ia jalani. Dulu, ia sempat berkeinginan mengambil Fakultas Kedokteran, nilai-nilainya terbilang bagus, undangan masuk Universitas tanpa tes kian menambah semangatnya. Ia seperti telah menggenggam masa depan. Namun, ia tak berhasil melumatkan kebingungannya dalam memanfaatkan peluang masuk kuliah. Akhirnya pilihannya jatuh pada kuliah di jurusan Matematika. Embel-embel keja di perusahaan besar dengan pakaian necis berdasi sesaat menambah semangat kuliahnya. Tetapi, kebingungan kembali hadir saat akan menyelesaikan skripsi. Ia bingung akan menjadi apa nantinya juga bingung dengan apa yang akan dikerjakannya setelah lulus nanti.

Tawaran mengajar di Pesantren as-Salam ia terima. Meski serba kebetulan dan tak diharapkan, ia mencoba menjalani itu semua dengan keyakinan akan rencana Tuhan. Ia menjalani kehidupan dengan mendidik para santri di Pesantren as-Salam, sebuah pesantren di daerah terpencil yang serba terbatas.  Ditemani 4 orang guru yang setiap tahunnya harus berganti karena tuntutan gaji memaksa mereka pindah. Ya, gaji yang ia dan teman-temannya terima hanya 300ribu/bulan. Itupun hanya mengandalkan iuran dari para santri yang seringkali telat membayar bahkan sampai menunggak hingga berbulan-bulan. Tak hanya itu, setiap harinya Kemal harus rela memakan sambal teri dan daun singkong rebus dikarenakan uang dapur yang tak mencukupi. Namun, ia mencoba tabah dalam menjalani semua itu. Mengajar lebih dari 5 mata pelajaran, juga menjadi tempat curhat bagi anak didiknya, menyelesaikan seluruh masalah yang dihadapi oleh mereka, dan sekaligus menjadi tempat berutang jika sesekali ada santrinya yang kehabisan uang. Ia terkadang dihadapkan dengan masalah yang bertubi-tubi, dan dengan kesabarannya ia mencoba menyelesaikan semua itu. Sempat terpikir olehnya untuk meninggalkan “Rumah Hijau” beserta para santri yang telah mengajarkannya arti kehidupan. Tetapi, rasa nyaman dan keinginannya untuk terus mengabdi menghapuskan semua pikiran itu. Hingga akhirnya, takdir semakin menyempurnakan pengabdiannya tatkala ia didapuk menjadi kepala dua sekolah sekaligus (MTs dan MA)! .

Tanggapan
Pesantren Ilalang, adalah sebuah novel kehidupan pengabdian seorang guru yang dituturkan dengan runtut dan menyentuh. Mengokohkan penulisnya dalam menyuguhkan jalan cerita yang menarik disertai berbagai konflik dengan penyelesaian yang unik. Menurut saya, Pesantren Ilalang merupakan sebuah novel penggembleng kepribadian. Dimana, kita diajarkan menjadi seorang pemberani. Seorang yang berani menerima tantangan sesulit apapun itu. Seperti seorang Kemal yang rela menanggalkan segala impiannya yang sudah di depan mata demi mengabdi menjadi seorang guru di daerah terpencil dengan gaji yang tidak seberapa. Baginya, ini bukan soal gaji, tetapi sebuah pengabdian. Karena ia yakin akan rencana besar yang sudah Tuhan siapkan. Istilahnya seperti “Keluar dari Zona Nyaman”. Memang, kita seakan terlena dengan apa yang telah kita capai sehingga cenderung bertahan pada zona nyaman kita. Namun, sebenarnya ada hal lain yang belum kita perjuangkan yang mungkin akan lebih baik dari semua yang telah kita capai. Oleh karena itu, pesan dari novel ini,  jangan ragu untuk keluar dari zona nyaman kita, dan gapailah impian yang belum tercapai. Selain itu, bentuk pengabdian  sebagai seorang guru sejati secara gamblang dipaparkan dalam novel ini. Menurut saya, Pengabdian adalah suatu bentuk tanggung jawab yang harus kita terima segala konsekuensinya. Sehingga,  Sebanyak apapun godaan, jika memang niat kita adalah mengabdi, maka sekalipun tak akan terbesit pikiran untuk mengingkari apa yang menjadi sumber pengabdian kita.